titastory, Ternate – Sherly Tjoanda resmi menjabat sebagai Gubernur Maluku Utara sejak 20 Februari 2025. Tepat 100 hari setelah pelantikannya bersama Wakil Gubernur Sarbin Sehe, perjalanan kekuasaannya diwarnai oleh sederet kebijakan populis dan aktivitas media sosial yang dikurasi secara terorganisir. Namun, di balik pencitraan itu, situasi lapangan justru menyuguhkan cerita yang jauh berbeda: pembungkaman, kriminalisasi, dan kerusakan ekologis yang semakin meluas.
Julfikar Sangaji, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara, menyampaikan bahwa di balik polesan citra digital Sherly, terdapat realitas kelam. Sungai Sangaji di Halmahera Timur, yang dulu jernih dan menjadi sumber kehidupan warga Maba Sangaji, kini keruh dan berlumpur akibat kontaminasi dari aktivitas tambang nikel oleh PT Weda Bay Nickel dan PT Position. Bukit-bukit penyangga kampung dihancurkan, zona-zona tradisional dilindas alat berat, dan sistem penghidupan warga hancur.
Pada 18 Mei 2025, warga Maba Sangaji melakukan aksi adat sebagai bentuk protes terhadap operasi tambang. Namun, saat ritual adat masih berlangsung, mereka justru dikepung aparat. Sebelas warga ditangkap, sebagian mengalami kekerasan, dan hingga kini masih ditahan di Lapas Klas IIA Ternate. Kepolisian bahkan melabeli aksi warga sebagai “premanisme”.

Penghadangan Brutal di Maba Tengah
Di Maba Tengah, Halmahera Timur, hal serupa juga terjadi. Warga Wayamli yang memprotes aktivitas tambang nikel PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) mengalami tindakan represif dari aparat. Pada aksi 28 April 2025, aparat menembakkan gas air mata hingga melukai tiga warga. Puluhan warga menerima surat panggilan polisi, bahkan 14 orang di antaranya kembali dipanggil pada 10 Mei 2025.
“Kami mendesak agar perusahaan berhenti beroperasi di wilayah adat, memulihkan hak-hak warga dan lingkungan, dan segera hengkang dari kawasan adat,” tegas M. Said Marsaoly, Ketua Salawaku Institute dan warga Halmahera Timur.
Ironisnya, PT STS yang diduga menyerobot lebih dari 25 hektar wilayah adat justru terus membangun jetty di Dusun Memeli tanpa izin lingkungan, dengan pengawalan aparat.

Rapat pada 30 April 2025 di Kantor Gubernur Maluku Utara memperlihatkan arah keberpihakan kekuasaan. Dihadiri oleh Wakil Gubernur, Kapolda, Kapolres, Dandim, Bupati, dan Direktur PT STS, hasil rapat justru mengukuhkan kehadiran perusahaan dan membiarkan kriminalisasi terhadap warga.
Sherly Tjoanda bahkan terang-terangan menyatakan pentingnya menjaga iklim investasi agar pertumbuhan ekonomi dua digit tetap stabil.
“Keamanan stabil itu penting untuk menjaga pertumbuhan ekonomi kita tetap dua digit,” ucapnya pada 25 Mei 2025. Pernyataan ini, menurut Julfikar, memperlihatkan watak kekuasaan yang lebih condong menjadi penjaga kepentingan industri ketimbang pelindung rakyat.

Kepentingan Bisnis Gubernur
Sherly Tjoanda sendiri tercatat sebagai pemilik sejumlah perusahaan tambang. PT Wijaya Karya di Pulau Gebe diduga menyerobot lahan warga dan mendapat perpanjangan izin operasi dari Kementerian ESDM setelah Sherly menjabat gubernur. Di Desa Wooi, Pulau Obi, Halmahera Selatan, PT Bela Sarana Permai miliknya memiliki konsesi 4.290 hektar yang mencakup seluruh pemukiman warga.
Warga Wooi dengan tegas menolak kehadiran perusahaan tersebut karena mengancam kelangsungan hidup dan ruang tinggal mereka.

Janji Manis yang Tak Terbukti
Sebelum menjabat, Sherly pernah menyatakan komitmen untuk merehabilitasi lingkungan dalam debat kandidat di Auditorium UMMU pada 19 November 2024. Ia menyoroti kerusakan lingkungan di Teluk Weda dan Teluk Buli akibat tambang nikel dan berjanji akan mengambil langkah konkret.
Namun, Mardani Legayelol, Juru Bicara Save Sagea dan warga Halmahera Tengah, menyebut janji itu sebagai pepesan kosong. “Kami mengamati perjalanan 100 hari kerja Sherly justru mengonfirmasi bahwa ia senantiasa menghindar dari persoalan krusial yang dihadapi warga saat ini: krisis sosial-ekologis yang didalangi oleh operasi pertambangan serta gempuran industri nikel yang kian buas.”

Kejahatan Lingkungan yang Terbongkar
Laporan investigasi kolaboratif The Gecko Project, OCCRP, DW News, News Tapa, dan The Guardian pada 29 April 2025 membongkar bahwa Harita Nickel telah mencemari perairan Pulau Obi selama lebih dari satu dekade. Pengujian internal Harita menunjukkan air minum desa terpapar kromium-6, zat karsinogenik yang bisa menyebabkan kerusakan organ dan kanker.
Di Teluk Weda, penelitian Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako pada 26 Mei 2025 membuktikan bahwa warga dan buruh telah terpapar merkuri dan arsenik melebihi ambang batas aman. Sungai-sungai rusak, biota laut terkontaminasi, dan masyarakat menderita.

Seratus hari kepemimpinan Sherly Tjoanda bukanlah masa pembuktian janji, melainkan pengkhianatan terhadap komitmen pelestarian lingkungan dan hak warga. Kebijakan yang dikeluarkan dan tindakan yang dibiarkan hanya memperkuat posisi korporasi, menindas warga, dan memperdalam krisis sosial-ekologis di Maluku Utara.