TITASTORY.ID, – Tradisi mengambil cacing laut tahunan atau dikenal dengan istilah “Timba Laor” masih terus dilakukan masyarakat pesisir Pulau Ambon sampai saat ini. Peminatnya bukan saja dari kalangan masyarakat yang mendiami kawasan pesisir pantai, namun menyita warga Pulau Ambon yang mendiami pusat kota.
Selain datang untuk mengambil hasil laut yang hanya muncul sekali dalam setahun ini, tetapi ajang ini pun menjadi sebuah tontonan yang kerap dilakukan di bulan Maret bahkan di bulan April. Menurut sejumlah masyarakat yang berhasil dimintai keterangan, Laor adalah makhluk hidup yang bentuknya seperti cacing yang muncul di setiap tiga hari setelah bulan purnama di bulan Maret atau bulan April
Lyde oele dari kelas Polychaeta filum analida. Biasanya muncul saat purnama pasang tertinggi dan hanya muncul di daerah pantai berkarang. Biota tersebut khas dan digemari oleh masyarakat Maluku. Kandungan protein yang lebih tinggi daripada ikan dan dapat diolah menjadi masakan tradisional dengan rasa gurih. Musim panen Laor sesungguhnya merupakan waktu kemunculan cacing dengan panjang 3-5 centimeter untuk melakukan pemijahan (spawning time).
Sudah menjadi tradisi, selain memanen, aktivitas ini juga menjadi ajang tontonan. Di bulan Maret tahun 2023,, ratusan orang rela datang ke beberapa tempat seperti di Negeri Rutong, Hukurila, yang berada di Kecamatan Leitimur Selatan dan pantai Airlow,serta Latuhalat Kecamatan Nusaniwe yang menjadi kawasan timbulnya laor, sekaligus lokasi dimana tradisi timba laor ini dilakukan.
“Saya dari Negeri Amahusu, Nusaniwe Kota Ambon, saya tau ada ini dari orang tua yang paham perhitungan bulan. Biasanya laor ini muncul ditanggal 9 Maret, tapi tanggal 9 saya datang ternyata masih belum naik karena ombak, jadi saya balik lagi tanggal 10 malam dan ternyata sangat banyak, berbeda dengan kemarin hari ini pengunjungnya juga sangat banyak” ungkap Elis Lekatompesy ( pencari laor-red)
Dijelaskan, karena hanya terjadi sekali dalam setahun, tradisi ini pun menarik banyak antusias warga untuk menyaksikan dan menikmati kemunculan Laor tersebut.
“Banyak yang antusias karena ini hanya terjadi satu tahun sekali, ada yang ambil untuk dijual ada juga yang untuk konsumsi sendiri, kalau saya untuk konsumsi sendiri saja bersama keluarga, semoga saya bisa mendapatkan Laor yang banyak” imbuh Elis
Dalam proses mengambil Laor. Warga harus membawa beberapa peralatan seperti seru atau dalam bahasa setempat disebut siru-siru untuk menjaring Laor, yang ditempatkan di dalam ember dan karung. Unik dari cacing laut ini, bahwa Laor akan bergerak ke arah cahaya lampu dari senter dan atau obor. Cara manual tersebut dilakukan. Namun yang hingga kini masih jadi tanda tanya, Laor akan menghilang jika ada cahaya bulan yang muncul dari sebelah timur.
“Kita pakai obor dan seru untuk mengambil Laornya, waktu kita nyalakan obor di atas air nanti laor itu akan mengikuti cahaya, nah waktu itu barulah kita bisa tangkap Laornya pakai seru” kata Andi Madusa yang juga adalah pencari Laor.
Tradisi Timba Laor diikuti oleh semua kalangan mulai dari orang tua, remaja hingga anak-anak, baik pria maupun wanita.
“ Datang dengan keluarga, hanya ingin senang – senang saja liat orang – orang ramai ambil laor, senang bisa liat tradisi timba Laor karena hanya ada satu tahun sekali, sekalian bermain juga”. Ungkap Dini Kauri (pengunjung-red)
Diungkapkan, timba Laor sendiri dilakukan berdasarkan siklus perhitungan bulan dan matahari yang terjadi pada bulan Maret, pada kawasan terumbu karang yang masih asri. Pada waktu tersebut lLaor yang sebelumnya tinggal di celah batu karang, muncul secara bersamaan ke permukaan air yang dangkal.
Momen inilah yang kemudian mendatangkan rezeki tersendiri bagi warga untuk mengambilnya dan dijadikan santapan lezat nan langka, sekaligus menjadi awal munculnya tradisi timba Laor pada masyarakat pesisir Ambon sejak ratusan tahun lalu.
Jika di Nusa Tenggara Barat, penangkapan Laor atau yang dikenal Masyarakat lombok sebagai Bau Nyale, bisa dilakukan dua kali dalam setahun. Di Maluku khususnya pesisir Ambon hal tersebut hanya bisa dilakukan sekali dalam setahun.
Yakni pada waktu utama, ditanggal 9 dan 10 minggu kedua di bulan Maret setelah tenggelamnya matahari dan akan kembali menghilang saat munculnya cahaya bulan.
Laor atau cacing laut ini diketahui memiliki 3x kandungan protein dibanding protein ikan, serta memiliki kandungan lain seperti vitamin b12, sehingga sangat layak untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Laor ini hanya berada di pesisir pantai berkarang dangkal, tidak ada di pesisir pantai berpasir. Untuk mengetahui munculnya Laor warga akan berpatokan pada tanda – tanda alam, yaitu hujan seharian ditandai dengan gemuruh suara guntur tiga atau dua hari bahkan sehari sebelum waktu sesuai sikulus bulan. (TIM)